SUARAMATAHARI-Keseharian
hidup manusia selalu berkaitan dengan meja. Meja menjadi tempat pertemuan
manusia, pertemuan keluarga dalam
berbagai momentum. Meja makan adalah Altar Kecil Keluarga, media untuk saling
melayani, berbagi kasih dan kesetiaan.
Cerita meja makan dalam hidup manusia,
mengingatkan kita dalam khotba Romo Jenty da Cunha O.Carm saat memimpin misa
Kamis Putih di Gereja Gunung Karmel Dionisius Wairklau Maumere Kabupaten Sikka
(13/04). Renungan panjang melalui Injil Yohanes disampaikan kepada umat tentang
makna perjamuan malam terkahir, Yesus dan kedua belas murid-Nya.
Seperti yang dibukakan Alkitab
bahwa sebelum ditangkap, disalibkan, dimakamkan hingga bangkit, Yesus hadir dan
makan bersama kedua belas murid-Nya. Mereka duduk mengitari meja perjamuan
untuk berbagi kasih dan kesetiaan. Yesus sebagai seorang Raja menunjukan sikap
rendah diri kepada pengikut-Nya.
Kita semua tahu bahwa peristiwa
makan bersama merupakan tempat orang saling mengenal, saling menatap. Baik di
rumah, di jalan, di warung atau pun di restoran.
Dalam kebersamaan ini, ada
kehadiran iblis yang tak diketahui oleh murid-murid Yesus. Iblis selalu punya
waktu untuk mengacaukan, memecah belah dan menjadi puncaknya pengkianatan. Hanya
Yesus yang tahu.
Iblis hadir dan membisikan dalam
hati (bukan telinga) Yudas untuk
melakukan pengkianatan. Hal itu terjadi dalam makan bersama di meja perjamuan,
meja cinta kasih, meja persaudaraan, meja tempat Yesus melayani.
Sebelumnya, pada perayaan pekan
suci, 2 hari sebelum hari Kamis Putih, Yesus mengatakan kepada 12 murid-Nya, “Dia
yang menyerahkan Aku, mencelupkan tangannya bersama Aku ke dalam pigan ini (Mat
26:21, 23). Dia mengkianati Aku”. Akan tetapi murid-murid Yesus tidak tahu,
tidak saling mencurigai. Yohanes murid yang dikasihi Yesus, tidur di bahu kanan
Yesus pun tidak tahu.
Petrus kemudian bertanya kepada
Yohanes. Siapa orang yang akan menyerahkan Yesus? Keguncangan Yohanes,
mengisyaratkan bahwa semua murid benar-benar tidak tahu. Mereka percaya, mereka
bersih dan setia, tidak ada yang mengkianati sang Guru. Yesus terus mengungkapkan
cinta kasih. Ia membasu kaki murid-murid-Nya.
Petrus kemudian bertanya lagi. Mengapa
Dia harus merendahkan diri seperti ini? Tidak cukupkah Ia menyerahkan diri, menyerahkan
tubuh dan darah menjadi santapan rohani?
“Ini sebuah pertanyaan reflektif
bagi kita. Bagaimana kita di muka bumi ini. Orang yang mengkianati Yesus pun
dicuci kakinya dengan kasih sayang. Mestikah kita pun melakukan hal yang sama dalam
hidup di muka ini” ungkap Romo Romo Jenty
da Cunha O.Carm.
Romo Jenty mengungkapkan bahwa orang
yang sombong, egois dan pengkianat, memberi
kakinya dicuci tapi hatinya mengkianati. Orang-orang seperti ini sangat banyak hadir
dan hidup di muka bumi. Mereka harus didoakan agar mampu hidup damai di tengah
gereja.
Meja perjamuan ini memberi makna
bagi umat Kristen. Dalam keseharian, kita berhadapan dengan meja makan di rumah.
Meja makan menjadi media pertemuan keluarga, saling bercerita, berkomunikasi
dan saling berbagi.
Meja makan menjadi pertemuan
syukur keluarga atas semua yang diperoleh. Meja makan menjadi tempat pelayanan.
Orang tua mengenal anak-anaknya di Altar Kecil itu. Di sana, orang tua mengenali
anak-anaknya, apakah Yudas, Petrus atau Yohanes.
“Marilah kita memaknai kisah
hidup Yesus dalam hidup. Mulailah dalam diri, rumah tangga dan sesama.
Jadikanlah meja makan sebagai media ungkapan cinta kasih dan persaudaraan bagi keluarga
dan sesama. Mari bangkit dari keterpurukan menuju cita-cita Yesus”. (Admin).
No comments:
Post a Comment