Berpikir Keras Agar Lulus, Menyoal Ujian Nasional

 
SUARA MATAHARI-Kurang lebih lima puluh tahun, kebijakan pendidikan Indonesia memberlakukan Ujian Nasional sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa. Hal ini karena pada saat itu sekolah-sekolah dianggap belum memiliki kemampuan dalam pengukuran dan penilain prestasi belajar siswa.  Seiring dengan perjalanan waktu, kebijakan ini dinilai tidak efektif karena UN tidak menjadi satu-satunya barometer untuk menentukan lulus atau tidaknya seorang siswa. 

Pada era pergantian beberapa menteri pendidikan, kebijakan ini tetap dipertahankan hanya ditambah dengan beberapa indikator minimal lainnya seperti Uji Kompetensi Guru (UKG) dan Indonesian National Assesment Program (INAP). Masuknya beberapa indikator sebagai barometer pengukuran tingkat kelulusan siswa tetap saja menuai persoalan karena indikator-indikator dimaksud dianggap tidak relevan dengan kondisi riil yang dialami oleh sekolah sebagai satuan pendidikan yang menyelenggarakan sistem pendidikan.

UN sebagai sebuah tradisi yang tidak mendidik 
Pada era Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dan Muhammad Nuh, UN dijadikan sebagai penentu tunggal kelulusan. Semenjak itu, sekolah dipaksa untuk menggerakan semua sumber daya yang ada agar pesertanya dapat lulus. Kiat dan strategi sekolah dalam menghadapi UN terus digalakan sehingga tidak heran saat itu banyak sekolah melakukan penambahan jam pelajaran bahkan sekolah pun menggandeng lembaga bimbingan belajar agar para siswanya sukses dalam UN. Akan tetapi hasil kelulusan tetap saja tidak memuaskan dan terkesan tidak sebanding dengan usaha yang dilakukan pihak sekolah. Protes atas kebijakan ini mulai berdatangan dari berbagai pihak yang bergelut secara langsung maupun tidak langsung dalam bidang  pendidikan. 

Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan terdepan merasakan sistem penilaian dan penentuan kelulusan melalui UN terkesan diskriminatif karena tidak memperhatikan kultur, karakter dan proses yang terjadi di sekolah. Ada kesan jika kebijakan UN tidak menghargai para guru yang selama ini mendampingi dan mendidik siswa-siswi dengan usaha yang keras.  Para pemerhati dan pegiat pendidikan juga melihat dalam konteks yang lebih luas soal tidak efektifnya UN yakni pemborosan anggaran Negara untuk sebuah kegiatan sebesar UN yang belum teruji sistem  penilaian yang akurat. 

Selanjutnya para pakar pendidikan mempertanyakan landasan pemberlakuan kebijakan ini karena tidak diperintahkan oleh UU 20 Tahun 2003 tentang UUSPN. Bagi mereka UN masih didasarkan atas standar nasional yang belum teruji secara materiil, baik kedalaman, keluasan, penjabaran serta keterukurannya.  Selain itu, kondisi geografis wilayah Indonesia yang sangat berbeda-beda dengan persediaan fasilitas pendidikan yang terbatas pada sekolah-sekolah di pedalaman, kurangnya tingkat kesejahteraan guru dan lemahnya akses informasi pendidikan dalam mendukung aktifitas belajar mengajar semakin jelas mengisyaratakan bahwa sistem UN menggeneralisasi sekolah-sekolah di daerah-daerah tertentu yang sudah maju dengan sekolah yang masih terbelakang. 

Pada masa Menteri Pendidikan Nasional dijabat oleh Anies Baswedan, UN tidak lagi sebagai penentu lulusan. CNN Indonesia, Minggu (11/9/2016) merilis pernyataan mantan menteri itu saat melakukan konferensi pers Jumat (23/1/2015) di Gedung Kemendikbud bahwa keputusan meluluskan ada di tangan sekolah. UN tidak bisa dijadikan sebagai barometer utama dalam melakukan penilaian lulus dan tidaknya siswa. "Tidak ada istilah lulus dan tidak lulus dalam UN sekarang. Yang ada hanyalah apakah nilai UN sudah mencapai nilai kompetensi yang sudah diharapkan siswa atau belum".
 
Reaksi Negatif
Setelah mendengar keputusan Menteri (saat itu) Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, bahwa UN tidak lagi sebagai penentu kelulusan, saya mencoba untuk mendatangi sebuah lembaga pendidikan di salah satu SMP dan SMK di Bantul Yogyakarta sekedar untuk menelusuri apa reaksi siswa terhadap keputusan itu. Dari hasil pengamatan yang saya lakukan lewat dialog dengan beberapa siswa, ternyata mereka merasa senang dengan keputusan ini. Karena bagi mereka jika UN ditiadakan dalam arti tidak menjadi penentu kelulusan. “Belajar ataupun tidak hasilnya tetap lulus dan kami tidak takut lagi dalam menghadapi UN”. Dengan keputusan ini, saya yakin tidak ada keseriusan para siswa/I dan guru dalam meningkatan aktifitas belajar mengajar seperti sebelumnya. Hal ini memang tidak berlaku untuk semua sekolah, tetapi pada kemungkinan besar bisa terjadi, kita dapat melihat pada lingkungan kita masing-masing.

Reaksi ini saya pahami karena bagi kebanyakan siswa selama ini, UN ibarat ‘syndrom” yang menakutkan. Hal ini karena UN selama ini bukan sekedar menjadi penentu kelulusan, tapi memerankan fungsi yang lebih buruk yakni “menghukum” siswa yang memiliki potensi di bidang lain, tetapi titdak lulus dalam uji pengetahuan yang diberikan oleh Negara. 

Dengan tidak dijadikan UN sebagai penentu kelulusan dan memberikan kewenangan kepada sekolah untuk menentukan kelulusan tidak juga berarti sekolah begitu serta merta meluluskan siswanya. Dalam hal membangun dan menumbuhkan daya saing out put sekolah, guru dan siswa harus menyita banyak waktu dan bekerja keras untuk berproses termasuk menghadapi UN meski tidak lagi menjadi penentu kelulusan. Saya berharap hal ini terus dilakukan agar siswa/I dan guru terus berusaha secara maksimal untuk memberikan hasil yang baik. Dengan demikian dapat memberikan motivasi dan dorongan agar tetap semangat dalam belajar dan mengajar. Sebab belajar adalah tugas siswa dan mengajar adalah tugas guru untuk mentransfer ilmu kepada siswa-siswinya.

UN berubah fungsi, mengatasi masalah?
Menjadi persoalan dalam benak saya bagaimana cara mengukur tingkat keberhasilan pendidikan secara nasional jika UN tidak dijadikan sebagai penentu kelulusan. Apakah dengan melihat tingkat kelulusan dari setiap sekolah di Indonesia? Apakah keputusan ini mengatasi carut marut pendidikan kita? Hehehe…. jika demikian ini sangat konyol. Sebab hal ini tidak bisa dipercaya dan mustahil. Keputusan ini dapat melahirkan ego sekolah karena pada dasarya masing-masing sekolah ingin menunjukan kepada masyarakat bahwa sekolah merekalah yang lebih bermutu, sehingga tingkat kelulusan setiap tahun ajaran disekolahnya pasti 100%.Terlepas dari apakah anak itu mampuh atau tidak itu urusan kedua. Fenomena ini sempat muncul selama ini ketika banyak sekolah dengan tingkat kelulusan yang tidak mendekati atau mememenuhi kriteria lulusan melalui UN, itu saja banyak sekolah yang melakukan manipulasi nilai untuk menunjang nilai-nilai yang tidak memenuhi KKM agar siswa/I bisa lulus. Maka dengan itu, sekarang muncul kekwatiran baru yakni “seperti apa potret baru ke depan  kelulusan siswa kita jika kelulusan ditentukan oleh sekolah?’.

Solusi baru yang tepat
Dengan keputusan UN tidak dijadikan sebagai penentu tunggal kelulusan, maka hal ini dapat merugikan anak bangsa. Terutama soal mental yang salah satunya seperti yang saya temui di Bantul bahwa semangat belajar siswa akan menurun. Dengan itu, maka di era menteri pendidikan yang baru ini diharapkan dapat menemukan solusi yang baru dalam menentukan tingkat kelulusan sekolah secara cermat dan efektif.

Solusi baru itu diharapkan agar dapat mendorong semua pelaku pendidikan termasuk pemerintah untuk lebih serius memperhatikan persoalan pendidikan. Di kabupaten/kota, Dinas Pendidikan harus memiliki program yang jelas dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Sekolah harus memiliki guru yang berkompeten dalam mendidik, guru harus kreatif dan inovatif dalam menciptakan model pembelajaran. Masyarakat harus tetap semangat mengontrol dan mengawasi pihak sekolah serta peserta didik. Tujuannya agar dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Semua elemen pendidikan harus digerakkan seperti pengawas sekolah harus diberdayakan fungsinya sehingga ia harus mempunyai agenda rutin untuk melakukan monitoring dan memberikan pelatihan-pelatihan terhadap sekolah binaan. Ia juga harus tegas memberikan sanksi terhadap guru-guru yang malas mengajar atau lalai dalam menjalankan tugasnya. 

Apapun alasannya, sekolah harus memenuhi delapan standar nasional pendidikan. Dengan memenuhi standar nasional pendidikan dimaksud secara serius, saya yakin mutu pendidikan di Indonesia akan meningkat. Untuk mencapai standar itu pula, sekolah harus maksimal dalam melaksanakan tugas termasuk sekolah dituntut untuk mampu mengukur sejauh mana tingkat keberhasilan pelaksanaan program pendidikan yang telah direncanakan dan ditetapkan sebelumnya. 

Dengan demikian, beberapa hal yang saya tawarkan sebagai solusi yang baik untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia pasca dihilangkannya UN adalah, pertama, harus ada pengganti UN yang dijadikan sebagai instrumen untuk mengukur tingkat keberhasilan pendidikan di Indonesia secara nasional. Kedua, Instrumen dimaksud harus mempertimbangkan karakter masing-masing sekolah sesuai tingkat kesulitan. Ketiga, jangan ada intervensi politik dalam pendidikan karena dapat membelokkan tujuan pendidikan yang sejati. 

Saya berpendapat, beberapa hal diatas jika semua elemen pendidikan di negeri ini serius dalam mengelolahnya, maka dapat mewujudkan visi dan misi pendidikan nasional kita. Dan hal ini bisa dicapai jika ada pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan ini sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan dalam konteks lokal, nasional, dan global. Tidak dipakainya UN sebagai penentu tunggal kelulusan memang masalah, tapi lebih bermasalah jika pemerintah tidak memiliki solusi pengganti yang tepat sebagai instrumen yang dipakai dalam menentukan kelulusan siswa. 

  Obet, Aktivis LMND Eskot Maumere.
Share:

No comments:

Post a Comment

Pages

Generasi Muda

Generasi Muda

Bunda Segala Bangsa Nilo. Salah satu lokasi shooting film tiga dara

Bunda Segala Bangsa Nilo. Salah satu lokasi shooting film tiga dara

KRISTUS RAJA

KRISTUS RAJA