Ketika Perempuan “Mendadak” Jadi Caleg


SUARA MATAHARI-Kebutuhan partai politik akan kader perempuan di Indonesia masih sebatas untuk memenuhi kuota 30 %. Tak dipungkiri bahwa partai politik (Parpol) di Indonesia, khususnya di NTT tengah kesulitan mendapatkan kader perempuan.  Bukan hanya partai-partai baru tetapi partai-partai tua seperti PDIP, Golkar, PPP pun sangat kesulitan merekrut kader perempuan yang berkualitas dan bersedia menjadi calon legislatif (Caleg) atau pemimpin. 

Fakta ini sudah berlangsung sejak hadirnya Parpol di Indonesia. Lihat saja disetiap momentum politik di Indonesia. Partai Politik “berlomba-lomba” mencari kader perempuan untuk menjadi Caleg. Entah berkualitas atau tidak, bagi Parpol yang penting memenuhi kuota 30 persen.

Di sini, dapat dikatakan bahwa perempuan seakan-akan jadi alat atau korban politik dalam “melengkapi” kepentingan laki-laki. Apakah ini merupakan kegagalan partai politik yang umum dijabat kaum laki-laki, ataukah karena kesiapan perempuan yang enggan terjun ke politik praktis. Mungkin juga karena pengaruh kebiasaan lama, bahwa perempuan harus selalu di dapur dan laki-laki selalu berada di depan. 

Menghadapi fakta ini, berbagai lembaga merasa penting dan peduli terhadap peran perempuan di parlemen. Lembaga-lembaga itu melaksanakan berbagai pelatihan sebagai pendidikan politik membekali kaum perempuan. 

Kunthi Tridewiyanti, Mantan Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan memaparkan banyak pengetahuan untuk kaum perempuan. Baginya, politik adalah cara untuk mengambil keputusan secara kelompok berdasarkan perbedaan-perbedaan. Untuk mencapai keputusan-keputusan bersifat kolektif, penting dilihat secara baik. 

Kalau dicermati secara benar, politik itu adalah pengambil kekuasaan, kebijakan. Di sini politik dikorelasikan dengan proses untuk menjadi wakil rakyat melalui pintu partai politik.
Apa yang dimaksud dengan wakil rakyat? Wakil rakyat dalam politik bermakna luas. Ketika hadir di parlemen dan bisa menyampaikan ide, merepresentasekan kepentingan politik. 

“Ini erat kaitan dengan kualitas kader atau wakil rakyat itu. Ada kemungkinan bahwa saat menjadi wakil rakyat tidak mampu bertutur banyak atau beragumnetasi apabila tidak didukung oleh proses pengkaderan yang benar dan tepat".    

Untuk masuk ke partai politik, menjadi kader partai hingga dicalonkan, tidak semua merasa bisa. Sebagian besar lainnya merasa gampang sekali. Segala cara dilakukan dengan beralasan pada kuota 30%. 

Sebut saja proses politik yang sedang terjadi sekarang. Ada pandangan bahwa politik adalah kepentingan laki-laki. Ada juga anggapan bahwa perempuan tidak perlu terlibat dalam proses politik, disaat undang-undang menghendaki pemenuhan kuota 30 %. 

Kondisi ini mengartikan adanya ketidakpedulian parpol untuk melakukan pengkaderan perempuan yang masih dipengaruhi oleh budaya patriarki. Ironisnya, perempuan-perempuan indonesia khususnya Kabupaten Sikka, Flores, NTT seakan bersedia “dipaksakan” menjadi kader (Caleg,red) “dadakan” disaat belum menguasai” sepak terjang partai politik dan arti politik yang sesungguhnya. 

Apa yang mau dikerjakan, apabila kaum perempuan dicalonkan tanpa menyiapkan diri secara baik?. Selain memenuhi kuota 30 %, di sana juga ada ketakutan yang luar biasa dari kaum laki-laki, apabila tidak lolos karena tidak ada kesiapan kaum perempuan. Apa yang harus kita lakukan? (Admin).
Share:

Nilai Solidaritas Yang Hilang

SUARA MATAHARI-Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata Solidaritas berarti sifat (perasaan) satu rasa atau perasaan setia kawan. Satu rasa, satu penanggungan berarti bersama-sama hidup dalam suka dan duka. 

Menjadi manusia yang solider, sesungguhnya telah ada dalam diri semua orang yang diturunkan sejak kecil oleh orang tua, guru dan para pendidik tingkat lainnya. Bagi warga atau generasi penerus yang pernah berada dibangku Sekolah Dasar (SD), pengetahun tentang makna Solidaritas diajarkan melalui mata pelajaran Pendidikn Moral Pancasila (PMP) atau PPKN atau Pancasila. Pengetahuan ini didapat dalam mata pelajaran Agama. 

Artinya, benar bahwa pengetahuan tentang Solidaritas telah diketahui semua orang. Negara dan Agama  berperan bersama untuk memberikan pemahaman kepada warganya tentang penting-penting memaknai nilai dari kata Solidaritas tersebut. Dan paling penting lagi untuk diketahui bahwa orang tua sesungguh menjadi guru pertama mengajarkan kebaikan kepada anak-anaknya. Bahwa sesungguhnya, nilai dari solidaritas adalah kebaikan dalam kehidupan antara manusia dengan manusia. 

Cerita tentang Solidaritas ini harus dimaknai secara mendalam. Hal ini dimaksudkan agar manusia tidak saling “mencederai” atas nama Solidaritas. Pengertian Solidaritas hanyalah materi di dalam kelas, sedangkan maknanya harus dipraktekan di tengah kehidupan sosial.

Ditengah bebasnya akses pengetahuan dan majunya teknologi, mengajak orang untuk maju. Maju menjadi orang yang lebih baik dalam menata hidupnya. Hal yang sering terjadi adalah nilai Solidaritas sering dilupakan ketika manusia berhadapan dengan pekerjaan atau kepentingan personal, kelompok atau golongan tertentu. 

Liriklah dalam kehidupan era ini. Jangankan di kota-kota besar, di kota-kota kecil pun cerita fakta ini sering terjadi setiap hari.

Sebuah contoh, ketika MR. X meninggalkan Mr. Y saat Mr. Y teman kosnya saat sedang sakit. Tentu Mr. X membutuhkannya karena sedang sakit. Apa boleh buat, ia meninggalkan sahabatnya sendirian dan pergi bersama teman-teman untuk meneguk minuman keras. 

Ketika pulang, ia menemukan Mr. X (teman kos) dalam kondisi lemas. Ia lemas nyaris tewas karena harus segera makan karena kelaparan. 

Ia sedang lapar dan harus segera makan. Dalam kondisi lapar ia menangis karena hilangnya solidaritas kawan kosnya. Saat bangun, bangkit dari sakitnya, ia berkata, “Kawan, ternyata Solidaritas itu mahal. Solidaritas itu, nyawa taruhannya. Aku teringat saat berada di bangku SD. Solidaritas sangat murah karena hanya bernilai sesuai uang sekolah. Jika engkau rajin maka engkau lulus mengerti tentang pengertian solidaritas”.

Masih banyak contoh cerita tentang nilai-nilai solidaritas yang hilang. Solidaritas yang dilupakan karena keegoan kita, kemunafikan, iri, sombong atau kepentingan lain yang membuat kita lupa akan kebersamaan. 

Mari kita jaga, rawat dan melestarikan kebersamaan, bukan demi menerapkan pengertian Solidaritas melainkan karena perubahan nilai kebersamaan. Solidaritas hanya sebuah teori yang harus kita jalankan demi pembangunan manusia yang solider dan maju. Sikap Solider harus ditunjukan dalam keseharian hidup manusia. (Admin).
Share:

Caleg Dirongrong ‘Stres’, Demokrasi ‘Babak Belur’


SUARA MATAHARI-Kemenangan dan kekalahan dalam pertarungan politik merupakan hal wajar. Jika kekalahan belum diterima secara akal sehat, maka aksi protes diluncurkan. Stres, depresi bahkan pada tingkatan gila menggeroti seseorang, ketika ruang demokrasi tak berpihak.

Kondisi ini harus dialami oleh sebagian calon legislaltif yang gagal dalam merebut kursi legislatif di Bumi Nusa Bunga. Sejumlah caleg yang mengklaim suaranya digelembungkan atau ditukar. Mereka memvonis bahwa para saksi pleno tidak berpihak pada regulasi. Suara para caleg “ini itu” hilang, entah siapa mencurinya.

Kondisi ini membuat mereka puyeng. Mereka mondar-mandir dan berteriak di ruang pleno. Walaupun tak diberi ruang, para calon wakil  rakyat ini nyaris ‘merampas’ posisi saksi-saksi pleno. Duh..malu ah. Tapi gimana? Mereka mengklaim, suara yang hilang tersebut merupakan suara kemenangan.  

Kondisi rill ini terjadi pada 20-22 April 2014, di aula tana nyiur melambai. Para caleg dari beberapa partai politik datang dan ‘merampas’ posisi para saksi. Walau tak diberi kesempatan, caleg-caleg ini bersikeras untuk berbicara. Kareng tak ada mandat untuk jadi saksi, upaya ini ditolak para komisioner/penyelenggara pemilu.

Para caleg gagal pun melaporkan fakta ini kepada Panitia Pengawas Pemilu. Peluang demonstrasi terjadi di sana. Mereka mengungkap kecurigaan atau dugaan. ‘Ketidakbenaran’ diadili melalui proses hukum demi terungkapnya kebenaran politik. 

Sebut saja dialami salah satu anggota DPRD (Incumbent). Ia harus merebahkan semangat politiknya atas pil pahit yang diperoleh. Dia kalah atas teman dekat, se-dapil.  Fakta itu terungkap di kampung halamannya sendiri. 

Nasib yang sama pula juga dialami peserta di dapil 1. Anggota fraksi “A” (PAW,red) ini kalah atas mantan ketua PAC partai “I” wilayah Kecamatan “K” dengan selisih tipis. TA, mengalami kekalahan atas rekannya, FK, dengan selisih 58 suara. Fakta pahit yang berbeda, dialami oleh caleg parta “N” dapil 1. Suaranya membludak tapi tidak berhasil menduduki kursi legislatif.

Muncul pertanyaan, apakah fakta ini merupakan kelemahan regulasi demokrasi politik? Regulasi demokrasi politik tak boleh ‘disalahkan’. Karena demokrasi telah membuka ruang politik bagi semua orang untuk berperan dalam menentukan sikap politik.

Lalu, apa arti demokrasi jika kondisi politik menjadi ‘babak belur’ ketika sportifitas ‘belum’ dimiliki para caleg. Ketegasan regulasi pemilu dinanti pada pemilu legislative yang akan datang.

Disarankan agar caleg yang bertarung mesti siap secara mental dan spiritual untuk menghadapi hasil dari pesta demokrasi. Kalah dan menang adalah sebuah keharusan dan wajar untuk diterima secara akal sehat. Jika tidak, maka stres, depresi bahkan gila pun akan diperoleh secara cuma-cuma.

Kemenangan dalam politik adalah strategi. Kalah strategi, anda tak meraih kursi. Akan tetapi penting kejujuran demi penegakan kebenaran dalam berdemokrasi.  (Admin).

Refleksi Pileg 2019
Share:

Berpikir Keras Agar Lulus, Menyoal Ujian Nasional

 
SUARA MATAHARI-Kurang lebih lima puluh tahun, kebijakan pendidikan Indonesia memberlakukan Ujian Nasional sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa. Hal ini karena pada saat itu sekolah-sekolah dianggap belum memiliki kemampuan dalam pengukuran dan penilain prestasi belajar siswa.  Seiring dengan perjalanan waktu, kebijakan ini dinilai tidak efektif karena UN tidak menjadi satu-satunya barometer untuk menentukan lulus atau tidaknya seorang siswa. 

Pada era pergantian beberapa menteri pendidikan, kebijakan ini tetap dipertahankan hanya ditambah dengan beberapa indikator minimal lainnya seperti Uji Kompetensi Guru (UKG) dan Indonesian National Assesment Program (INAP). Masuknya beberapa indikator sebagai barometer pengukuran tingkat kelulusan siswa tetap saja menuai persoalan karena indikator-indikator dimaksud dianggap tidak relevan dengan kondisi riil yang dialami oleh sekolah sebagai satuan pendidikan yang menyelenggarakan sistem pendidikan.

UN sebagai sebuah tradisi yang tidak mendidik 
Pada era Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dan Muhammad Nuh, UN dijadikan sebagai penentu tunggal kelulusan. Semenjak itu, sekolah dipaksa untuk menggerakan semua sumber daya yang ada agar pesertanya dapat lulus. Kiat dan strategi sekolah dalam menghadapi UN terus digalakan sehingga tidak heran saat itu banyak sekolah melakukan penambahan jam pelajaran bahkan sekolah pun menggandeng lembaga bimbingan belajar agar para siswanya sukses dalam UN. Akan tetapi hasil kelulusan tetap saja tidak memuaskan dan terkesan tidak sebanding dengan usaha yang dilakukan pihak sekolah. Protes atas kebijakan ini mulai berdatangan dari berbagai pihak yang bergelut secara langsung maupun tidak langsung dalam bidang  pendidikan. 

Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan terdepan merasakan sistem penilaian dan penentuan kelulusan melalui UN terkesan diskriminatif karena tidak memperhatikan kultur, karakter dan proses yang terjadi di sekolah. Ada kesan jika kebijakan UN tidak menghargai para guru yang selama ini mendampingi dan mendidik siswa-siswi dengan usaha yang keras.  Para pemerhati dan pegiat pendidikan juga melihat dalam konteks yang lebih luas soal tidak efektifnya UN yakni pemborosan anggaran Negara untuk sebuah kegiatan sebesar UN yang belum teruji sistem  penilaian yang akurat. 

Selanjutnya para pakar pendidikan mempertanyakan landasan pemberlakuan kebijakan ini karena tidak diperintahkan oleh UU 20 Tahun 2003 tentang UUSPN. Bagi mereka UN masih didasarkan atas standar nasional yang belum teruji secara materiil, baik kedalaman, keluasan, penjabaran serta keterukurannya.  Selain itu, kondisi geografis wilayah Indonesia yang sangat berbeda-beda dengan persediaan fasilitas pendidikan yang terbatas pada sekolah-sekolah di pedalaman, kurangnya tingkat kesejahteraan guru dan lemahnya akses informasi pendidikan dalam mendukung aktifitas belajar mengajar semakin jelas mengisyaratakan bahwa sistem UN menggeneralisasi sekolah-sekolah di daerah-daerah tertentu yang sudah maju dengan sekolah yang masih terbelakang. 

Pada masa Menteri Pendidikan Nasional dijabat oleh Anies Baswedan, UN tidak lagi sebagai penentu lulusan. CNN Indonesia, Minggu (11/9/2016) merilis pernyataan mantan menteri itu saat melakukan konferensi pers Jumat (23/1/2015) di Gedung Kemendikbud bahwa keputusan meluluskan ada di tangan sekolah. UN tidak bisa dijadikan sebagai barometer utama dalam melakukan penilaian lulus dan tidaknya siswa. "Tidak ada istilah lulus dan tidak lulus dalam UN sekarang. Yang ada hanyalah apakah nilai UN sudah mencapai nilai kompetensi yang sudah diharapkan siswa atau belum".
 
Reaksi Negatif
Setelah mendengar keputusan Menteri (saat itu) Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, bahwa UN tidak lagi sebagai penentu kelulusan, saya mencoba untuk mendatangi sebuah lembaga pendidikan di salah satu SMP dan SMK di Bantul Yogyakarta sekedar untuk menelusuri apa reaksi siswa terhadap keputusan itu. Dari hasil pengamatan yang saya lakukan lewat dialog dengan beberapa siswa, ternyata mereka merasa senang dengan keputusan ini. Karena bagi mereka jika UN ditiadakan dalam arti tidak menjadi penentu kelulusan. “Belajar ataupun tidak hasilnya tetap lulus dan kami tidak takut lagi dalam menghadapi UN”. Dengan keputusan ini, saya yakin tidak ada keseriusan para siswa/I dan guru dalam meningkatan aktifitas belajar mengajar seperti sebelumnya. Hal ini memang tidak berlaku untuk semua sekolah, tetapi pada kemungkinan besar bisa terjadi, kita dapat melihat pada lingkungan kita masing-masing.

Reaksi ini saya pahami karena bagi kebanyakan siswa selama ini, UN ibarat ‘syndrom” yang menakutkan. Hal ini karena UN selama ini bukan sekedar menjadi penentu kelulusan, tapi memerankan fungsi yang lebih buruk yakni “menghukum” siswa yang memiliki potensi di bidang lain, tetapi titdak lulus dalam uji pengetahuan yang diberikan oleh Negara. 

Dengan tidak dijadikan UN sebagai penentu kelulusan dan memberikan kewenangan kepada sekolah untuk menentukan kelulusan tidak juga berarti sekolah begitu serta merta meluluskan siswanya. Dalam hal membangun dan menumbuhkan daya saing out put sekolah, guru dan siswa harus menyita banyak waktu dan bekerja keras untuk berproses termasuk menghadapi UN meski tidak lagi menjadi penentu kelulusan. Saya berharap hal ini terus dilakukan agar siswa/I dan guru terus berusaha secara maksimal untuk memberikan hasil yang baik. Dengan demikian dapat memberikan motivasi dan dorongan agar tetap semangat dalam belajar dan mengajar. Sebab belajar adalah tugas siswa dan mengajar adalah tugas guru untuk mentransfer ilmu kepada siswa-siswinya.

UN berubah fungsi, mengatasi masalah?
Menjadi persoalan dalam benak saya bagaimana cara mengukur tingkat keberhasilan pendidikan secara nasional jika UN tidak dijadikan sebagai penentu kelulusan. Apakah dengan melihat tingkat kelulusan dari setiap sekolah di Indonesia? Apakah keputusan ini mengatasi carut marut pendidikan kita? Hehehe…. jika demikian ini sangat konyol. Sebab hal ini tidak bisa dipercaya dan mustahil. Keputusan ini dapat melahirkan ego sekolah karena pada dasarya masing-masing sekolah ingin menunjukan kepada masyarakat bahwa sekolah merekalah yang lebih bermutu, sehingga tingkat kelulusan setiap tahun ajaran disekolahnya pasti 100%.Terlepas dari apakah anak itu mampuh atau tidak itu urusan kedua. Fenomena ini sempat muncul selama ini ketika banyak sekolah dengan tingkat kelulusan yang tidak mendekati atau mememenuhi kriteria lulusan melalui UN, itu saja banyak sekolah yang melakukan manipulasi nilai untuk menunjang nilai-nilai yang tidak memenuhi KKM agar siswa/I bisa lulus. Maka dengan itu, sekarang muncul kekwatiran baru yakni “seperti apa potret baru ke depan  kelulusan siswa kita jika kelulusan ditentukan oleh sekolah?’.

Solusi baru yang tepat
Dengan keputusan UN tidak dijadikan sebagai penentu tunggal kelulusan, maka hal ini dapat merugikan anak bangsa. Terutama soal mental yang salah satunya seperti yang saya temui di Bantul bahwa semangat belajar siswa akan menurun. Dengan itu, maka di era menteri pendidikan yang baru ini diharapkan dapat menemukan solusi yang baru dalam menentukan tingkat kelulusan sekolah secara cermat dan efektif.

Solusi baru itu diharapkan agar dapat mendorong semua pelaku pendidikan termasuk pemerintah untuk lebih serius memperhatikan persoalan pendidikan. Di kabupaten/kota, Dinas Pendidikan harus memiliki program yang jelas dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Sekolah harus memiliki guru yang berkompeten dalam mendidik, guru harus kreatif dan inovatif dalam menciptakan model pembelajaran. Masyarakat harus tetap semangat mengontrol dan mengawasi pihak sekolah serta peserta didik. Tujuannya agar dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Semua elemen pendidikan harus digerakkan seperti pengawas sekolah harus diberdayakan fungsinya sehingga ia harus mempunyai agenda rutin untuk melakukan monitoring dan memberikan pelatihan-pelatihan terhadap sekolah binaan. Ia juga harus tegas memberikan sanksi terhadap guru-guru yang malas mengajar atau lalai dalam menjalankan tugasnya. 

Apapun alasannya, sekolah harus memenuhi delapan standar nasional pendidikan. Dengan memenuhi standar nasional pendidikan dimaksud secara serius, saya yakin mutu pendidikan di Indonesia akan meningkat. Untuk mencapai standar itu pula, sekolah harus maksimal dalam melaksanakan tugas termasuk sekolah dituntut untuk mampu mengukur sejauh mana tingkat keberhasilan pelaksanaan program pendidikan yang telah direncanakan dan ditetapkan sebelumnya. 

Dengan demikian, beberapa hal yang saya tawarkan sebagai solusi yang baik untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia pasca dihilangkannya UN adalah, pertama, harus ada pengganti UN yang dijadikan sebagai instrumen untuk mengukur tingkat keberhasilan pendidikan di Indonesia secara nasional. Kedua, Instrumen dimaksud harus mempertimbangkan karakter masing-masing sekolah sesuai tingkat kesulitan. Ketiga, jangan ada intervensi politik dalam pendidikan karena dapat membelokkan tujuan pendidikan yang sejati. 

Saya berpendapat, beberapa hal diatas jika semua elemen pendidikan di negeri ini serius dalam mengelolahnya, maka dapat mewujudkan visi dan misi pendidikan nasional kita. Dan hal ini bisa dicapai jika ada pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan ini sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan dalam konteks lokal, nasional, dan global. Tidak dipakainya UN sebagai penentu tunggal kelulusan memang masalah, tapi lebih bermasalah jika pemerintah tidak memiliki solusi pengganti yang tepat sebagai instrumen yang dipakai dalam menentukan kelulusan siswa. 

  Obet, Aktivis LMND Eskot Maumere.
Share:

Cinta Kasih Di Altar Kecil Keluarga

SUARAMATAHARI-Keseharian hidup manusia selalu berkaitan dengan meja. Meja menjadi tempat pertemuan manusia, pertemuan  keluarga dalam berbagai momentum. Meja makan adalah Altar Kecil Keluarga, media untuk saling melayani, berbagi kasih dan kesetiaan.

Cerita meja makan dalam hidup manusia, mengingatkan kita dalam khotba Romo Jenty da Cunha O.Carm saat memimpin misa Kamis Putih di Gereja Gunung Karmel Dionisius Wairklau Maumere Kabupaten Sikka (13/04). Renungan panjang melalui Injil Yohanes disampaikan kepada umat tentang makna perjamuan malam terkahir, Yesus dan kedua belas murid-Nya.

Seperti yang dibukakan Alkitab bahwa sebelum ditangkap, disalibkan, dimakamkan hingga bangkit, Yesus hadir dan makan bersama kedua belas murid-Nya. Mereka duduk mengitari meja perjamuan untuk berbagi kasih dan kesetiaan. Yesus sebagai seorang Raja menunjukan sikap rendah diri kepada pengikut-Nya. 

Kita semua tahu bahwa peristiwa makan bersama merupakan tempat orang saling mengenal, saling menatap. Baik di rumah, di jalan, di warung atau pun di restoran.
Dalam kebersamaan ini, ada kehadiran iblis yang tak diketahui oleh murid-murid Yesus. Iblis selalu punya waktu untuk mengacaukan, memecah belah dan menjadi puncaknya pengkianatan. Hanya Yesus yang tahu.  

Iblis hadir dan membisikan dalam hati (bukan telinga) Yudas  untuk melakukan pengkianatan. Hal itu terjadi dalam makan bersama di meja perjamuan, meja cinta kasih, meja persaudaraan, meja tempat Yesus melayani.  

Sebelumnya, pada perayaan pekan suci, 2 hari sebelum hari Kamis Putih, Yesus mengatakan kepada 12 murid-Nya, “Dia yang menyerahkan Aku, mencelupkan tangannya bersama Aku ke dalam pigan ini (Mat 26:21, 23). Dia mengkianati Aku”. Akan tetapi murid-murid Yesus tidak tahu, tidak saling mencurigai. Yohanes murid yang dikasihi Yesus, tidur di bahu kanan Yesus pun tidak tahu. 

Petrus kemudian bertanya kepada Yohanes. Siapa orang yang akan menyerahkan Yesus? Keguncangan Yohanes, mengisyaratkan bahwa semua murid benar-benar tidak tahu. Mereka percaya, mereka bersih dan setia, tidak ada yang mengkianati sang Guru. Yesus terus mengungkapkan cinta kasih. Ia membasu kaki murid-murid-Nya. 

Petrus kemudian bertanya lagi. Mengapa Dia harus merendahkan diri seperti ini? Tidak cukupkah Ia menyerahkan diri, menyerahkan tubuh dan darah menjadi santapan rohani?
“Ini sebuah pertanyaan reflektif bagi kita. Bagaimana kita di muka bumi ini. Orang yang mengkianati Yesus pun dicuci kakinya dengan kasih sayang. Mestikah kita pun melakukan hal yang sama dalam hidup di muka ini” ungkap  Romo Romo Jenty da Cunha O.Carm.

Romo Jenty mengungkapkan bahwa orang yang sombong, egois dan pengkianat,   memberi kakinya dicuci tapi hatinya mengkianati. Orang-orang seperti ini sangat banyak hadir dan hidup di muka bumi. Mereka harus didoakan agar mampu hidup damai di tengah gereja.
Meja perjamuan ini memberi makna bagi umat Kristen. Dalam keseharian, kita berhadapan dengan meja makan di rumah. Meja makan menjadi media pertemuan keluarga, saling bercerita, berkomunikasi dan saling berbagi. 

Meja makan menjadi pertemuan syukur keluarga atas semua yang diperoleh. Meja makan menjadi tempat pelayanan. Orang tua mengenal anak-anaknya di Altar Kecil itu. Di sana, orang tua mengenali anak-anaknya, apakah Yudas, Petrus atau Yohanes. 

“Marilah kita memaknai kisah hidup Yesus dalam hidup. Mulailah dalam diri, rumah tangga dan sesama. Jadikanlah meja makan sebagai media ungkapan cinta kasih dan persaudaraan bagi keluarga dan sesama. Mari bangkit dari keterpurukan menuju cita-cita Yesus”. (Admin).

Share:

Pages

Generasi Muda

Generasi Muda

Bunda Segala Bangsa Nilo. Salah satu lokasi shooting film tiga dara

Bunda Segala Bangsa Nilo. Salah satu lokasi shooting film tiga dara

KRISTUS RAJA

KRISTUS RAJA