Gunung: Iligai, Newa dan Weker
SUARA MATAHARI-Ketika itu saya berada di kelas II SD. Bersama
teman-teman sudah pulang dari sekolah. Seperti biasa saat tiba rumah saya lalu
makan siang. Saat itu saya tak menemui orang tua. Mereka sedang berada di
kebun. Hanya seorang saudari yang sedang terbaring lemas karena demam
menyerangnnya. Sedangkan saudara yang lain berada di Kota Maumere.
Kala itu, di kampungku lagi ramai dengan permainan yang dalam
istilah anak-anak kampung disebut “kelereng”. Permainan itu menggunakan kemiri.
Saya kemudian pergi ke rumah Roly, teman sekelasku. Rumahnya lebih dekat dengan
kaki gunung iligai. Setiba di rumah, saya mencari alat permainan (kemiri)
berdiameter besar.
Bersama Roly, kami tak bermain lama. Pukul 14:00 wita,
tiba-tiba saja terasa getaran besar. Roly bersama tetangga keluarga Anton yang
tinggal dikeliling bukit ini mencari tempat yang aman. Guncangan itu berhenti
saya lalu pulang dan menghampiri rumah Arnoldus, teman SD lainnya, tetangga
dekat kami.
Bersama Arnoldus, kami bermain kelereng di halaman rumah.
Guncangan gempa itu datang lagi dengan skala besar. Guncangan diketahui ketika
saya melihat rumah Arnoldus roboh, rata dengan tanah. “Aduh kawan, kenapa ini”
tanyaku.
Nodus temanku berteriak “Ami noran, ami noran ami noran (kami
ada)”. Itu kebiasaan orang di kampungku menyambut guncangan gempa. Edo (gempa)
kawan. Seiring dengan itu, batu besar yang berada di samping timur rumah Nodus
meluncur ke bawah kali mati. Wuih kawan, ayo kaburrrr! Semua orang mencari
tempat yang aman. Saya bersama Nodus dan saudaranya menuju pemukiman. Kami
memilih melintasi bukit untuk menjauhkan diri dari longsor dan batu-batu besar
yang meluncur dari ketinggian.
Di sana, di tengan pemukiman, di rumah adat, orang di
kampungku sudah berkumpul sejak tadi. Tak satupun keluargaku (orang rumah) di
tempat ini. Kutemui seorang teman namanya Paseli. Dengan spontan kami bercerita.
“Kawan kita punya sekolah bagaimana” tanyaku. Aduh kawan, kita punya sekolah
rata dengan tanah. “Bagaimana dengan bola dan ruang kita” sambungku. Semua rata
kawan, kau jangan tanya lagi. “Ai kawan, nanti kita sekolah di mana” tanyaku
lagi. Itu sudah kawan, saya juga tidak tahu, jawab Paseli cuek.
Bersama Paseli kami terus bercerita. “Kawan tahu saya punya bagaimana” tanyaku.
Saya tadi lewat di sana, rumahmu masih berdiri tidak roboh. Mungkin sekarang
sudah rata dengan tanah.
Guncangan terasa terhenti sejenak. Saya memberanikan diri
pulang ke rumah. Apalagi tadi saudariku sedang sakit dan terbaring dalam rumah.
Saya menemui dua rumah kami sudah hancur. Yang satu rata dengan tanah sedangkan
satunya lagi mengalami kemiringan 60%. Saudariku tak kelihatan di sekitar
rumah.
Syukur, ternyata sebelum gempa, saudariku sudah bangun dan
pergi ke tetangga meninggalkan rumah. Tetangga dekat adalah bapak kecilku.
Waktu itu dia pun sedang tidur tapi dibangunkan oleh saudara sepupuku dengan
maksud menggunting rambut.
Ketika gempat tadi mereka semua mengamankan diri di
ketinggian. Sebuah bukit kecil yang berada tak jauh dari rumah kami. Ke-2 orang
tuaku pun di sana bersama saudari yang lain. Sedangkan saudaraku yang lain pun
selamat berada di kota. Selamat, selamat dan kami semua selamat berkat
pertolongan YMK. Keluarga keturunan Marodinong/Maro Bela Nita Puan
semuanya selamat.
|