“Komputer itu sangat mudah. Kami
di Google sengaja membuat perangkat yang ibaratnya bisa digunakan tanpa harus
berpikir. Anak-anak toh tetap bisa mempelajari komputer sendiri jika usia
mereka sudah dewasa.” (Alan Eagle.)
SUARA MATAHARI-Singkatnya, Eagle menjelaskan
bahwa komputer itu mudah dan bisa dipelajari lewat kursus kilat sekalipun. Jadi
buat apa “membunuh” kreativitas alami anak dengan memaksa mereka mempelajari
komputer sejak dini?
Bukan berarti anak-anak di
Waldorf dan Silicon Valley sama sekali tak melek teknologi. Siswa-siswa kelas V
di Waldorf mengaku sering menghabiskan waktu mereka dengan menonton film di
rumah. Seorang siswa yang ayahnya bekerja sebagai teknisi di Apple mengaku
sering diminta mencoba game baru ciptaan sang ayah. Sementara seorang
muridbiasa berkutat dengan flight control system diakhir pekan bersama orang
tuanya.
Justru anak-anak ini sudah
mendapat pengetahuan teknologi dalam porsi yang pas, mengingat kebanyakan
orangtua mereka adalah penggiat industri teknologi. Berkat didikan di Waldorf,
anak-anak Silicon Valley mengaku tak nyaman saat melihat orang-orang di
sekitarnya sibuk dengan gadget mereka.
“Aku lebih suka menulis dengan
kertas dan pulpen. Ini membuatku bisa membandingkan tulisanku saat kelas I
dengan yang sekarang. Kalau aku menulis di komputer ‘kan gaya tulisannya sama
semua. Dan kalau komputermu tiba-tiba rusak atau mendadak mati listrik,
pekerjaanmu jadi tak selesai ‘kan?”ungkap Finn Heilig, yang ayahnya bekerja di
Google.
Sekali lagi, metode pendidikan
tanpa komputer bukannya bermaksud menutup akses anak untuk mengenal teknologi.
Kelak, di usia tertentu mereka tetap punya kesempatan untuk mempelajarinya.
Sementara di masa kanak-kanak, mereka berhak mendapat kesempatan menjadi
sebenar-benarnya anak-anak.
Bagaimana nasib adik-adikmu atau
anak-anakmu sendiri kelak? Apakah lebih baik mereka dikenalkan dengan gadget dan
perangkat teknologi sejak dini, atau lebih baik menunggu sampai saat yang
benar-benar tepat? (hipwee.com).
No comments:
Post a Comment