Kutulis Cerita Gempa Di Kampungku 121292

Gunung: Iligai, Newa dan Weker
SUARA MATAHARI-Ketika itu saya berada di kelas II SD. Bersama teman-teman sudah pulang dari sekolah. Seperti biasa saat tiba rumah saya lalu makan siang. Saat  itu saya tak menemui orang tua. Mereka sedang berada di kebun. Hanya seorang saudari yang sedang terbaring lemas karena demam menyerangnnya. Sedangkan saudara yang lain berada di Kota Maumere.  

Kala itu, di kampungku lagi ramai dengan permainan yang dalam istilah anak-anak kampung disebut “kelereng”. Permainan itu menggunakan kemiri. Saya kemudian pergi ke rumah Roly, teman sekelasku. Rumahnya lebih dekat dengan kaki gunung iligai. Setiba di rumah, saya mencari alat permainan (kemiri) berdiameter besar.

Bersama Roly, kami tak bermain lama. Pukul 14:00 wita, tiba-tiba saja terasa getaran besar. Roly bersama tetangga keluarga Anton yang tinggal dikeliling bukit ini mencari tempat yang aman. Guncangan itu berhenti saya lalu pulang dan menghampiri rumah Arnoldus, teman SD lainnya, tetangga dekat kami.

Bersama Arnoldus, kami bermain kelereng di halaman rumah. Guncangan gempa itu datang lagi dengan skala besar. Guncangan diketahui ketika saya melihat rumah Arnoldus roboh, rata dengan tanah. “Aduh kawan, kenapa ini” tanyaku.

Nodus temanku berteriak “Ami noran, ami noran ami noran (kami ada)”. Itu kebiasaan orang di kampungku menyambut guncangan gempa. Edo (gempa) kawan. Seiring dengan itu, batu besar yang berada di samping timur rumah Nodus meluncur ke bawah kali mati. Wuih kawan, ayo kaburrrr! Semua orang mencari tempat yang aman. Saya bersama Nodus dan saudaranya menuju pemukiman. Kami memilih melintasi bukit untuk menjauhkan diri dari longsor dan batu-batu besar yang meluncur dari ketinggian.

Di sana, di tengan pemukiman, di rumah adat, orang di kampungku sudah berkumpul sejak tadi. Tak satupun keluargaku (orang rumah) di tempat ini. Kutemui seorang teman namanya Paseli. Dengan spontan kami bercerita. “Kawan kita punya sekolah bagaimana” tanyaku. Aduh kawan, kita punya sekolah rata dengan tanah. “Bagaimana dengan bola dan ruang kita” sambungku. Semua rata kawan, kau jangan tanya lagi. “Ai kawan, nanti kita sekolah di mana” tanyaku lagi. Itu sudah kawan, saya juga tidak tahu, jawab Paseli cuek.


Bersama Paseli kami terus bercerita. “Kawan tahu saya punya bagaimana” tanyaku. Saya tadi lewat di sana, rumahmu masih berdiri tidak roboh. Mungkin sekarang sudah rata dengan tanah.


Guncangan terasa terhenti sejenak. Saya memberanikan diri pulang ke rumah. Apalagi tadi saudariku sedang sakit dan terbaring dalam rumah. Saya menemui dua rumah kami sudah hancur. Yang satu rata dengan tanah sedangkan satunya lagi mengalami kemiringan 60%. Saudariku tak kelihatan di sekitar rumah.

Syukur, ternyata sebelum gempa, saudariku sudah bangun dan pergi ke tetangga meninggalkan rumah. Tetangga dekat adalah bapak kecilku. Waktu itu dia pun sedang tidur tapi dibangunkan oleh saudara sepupuku dengan maksud menggunting rambut.

Ketika gempat tadi mereka semua mengamankan diri di ketinggian. Sebuah bukit kecil yang berada tak jauh dari rumah kami. Ke-2 orang tuaku pun di sana bersama saudari yang lain. Sedangkan saudaraku yang lain pun selamat berada di kota. Selamat, selamat dan kami semua selamat berkat pertolongan YMK. Keluarga keturunan Marodinong/Maro Bela Nita Puan semuanya selamat.


Tempat Kami Berlindung 92
1 Meninggal, 1 Patah Tulang

Di kampungku, ada seorang ibu, petani kebun meninggal dunia. Sedangkan seorang lainnya mengalami patah tulang.  Saat gempa ibu petani ini sedang berada di kebun. Dia sedang membersihkan rumput di kebun padi yang berada di kemiringan tanah. Kejadian itu menimpanya ketika dia baru saja pulang maka siang di rumah. Ketika tiba di kebun, baru saja memasuki kebun, guncangan gempa datang. Batu-batu besar meluncur dari atas bukit dan menghantam kepala ibu. Terguling ke dekat jalan, tepat di dekat pohon kakao, di samping pohon salak.

Dia ditemui tak bernyawa dengan kepala bocor. Ibu yang biasa dipanggil Du’a ini langsung dimakamkan tak menunggu lama sebagaimana proses pemakaman jenasa lainnya. 

Guncangan Gempa itu terhenti. Malam pun datang. Semua keluarga termasuk tetangga sekitar berkumpul di tempat kami, selain di pemukiman warga tadinya. Sekilo pun tak ada beras untuk menanak nasi. Keluargaku waktu itu kemudian merebus pisang. Di kampungku menyebut “Mu’u Ma”.

Hari pertama dan ke-2 kami belum dapat bantuan. Bantuan datang beberapa hari kemudian. Ada mie dan makanan jenis lain yang tak lagi saya ingat. Dalam kondisi gelap dan diterangi pelita dan dibantu terpal sebagai atap kami berlindung.

Mengingat 92, saya teringat sekolahku, teringat bola dan ruang kelasku. Terigat permainan kemiri, teringat Roly, Nodus dan Paseli, temanku. Teringat saudariku, orang tuaku, keluargaku dan rumahku. Teringat kematian Mama Du’a yang meninggal dunia dihantam batu.

Bencana mengingatkan kita pada sejarah kehidupan bahwa sesungguhnya hidup itu keras. Sesungguhnya alam itu keras dan hebat. Sesungguhnya kehidupan itu misteri YMK. Karenanya berhati-hatilah dan berjaga-jagalah dan selalu setia pada pemberi kehidupan. (Editing Admin).  


Share:

No comments:

Post a Comment

Pages

Generasi Muda

Generasi Muda

Bunda Segala Bangsa Nilo. Salah satu lokasi shooting film tiga dara

Bunda Segala Bangsa Nilo. Salah satu lokasi shooting film tiga dara

KRISTUS RAJA

KRISTUS RAJA