SUARA MATAHARI-"Belis”,
satu kata yang mengandung berjuta makna, tergantung cara pandang masing-masing
insan Tuhan. Belis, sebuah kata yang tak asing lagi
bagi masyarakat NTT. Ketika kata tersebut terngiang di
telinga kita, tak perlu lagi mendefinisikannya secara rinci. Dengan sendirinya dapat dimengerti dan dipahami oleh akal. Begitu
cepatkah kata belis terserap dalam pemikiran kita? Ya, itu fakta, dan secara
logika, kata tersebut seakan telah terasionalisasi dalam otak kita dan mengakar
dalam kebudayaan secara turun temurun.
Tak
jarang, ketika sedang duduk-duduk dipinggir jalan, maupun berjalan di trotoar,
pemandangan yang sudah lazim, terkadang melintas di depan mata kita. Antara
mobil truk dan mobil pick up, melaju beriringan bermuatkan beberapa ekor kuda, kambing,
babi, beberapa karung beras, beraneka macam buah-buahan. Bahkan
beberapa lelaki yang sudah berumur mengenakan kain adat khas Sikka
pun turut di dalamnya sambil memainkan gong waning (alat musik orang daerah). Tak
perlu bertanya lagi, “Ada apa gerangan?”, karena jawabannya pasti “Belis”.
Belis
serta dampaknya dalam pernikahan memiliki hubungan yang sangat erat dan penting.
Tak dapat dipungkiri lagi, belis telah menjadi persoalan keluarga yang
bersangkutan dan bahkan menjadi perhatian masyarakat kabupaten Sikka pada
umumnya.
Secara
sederhana, kita pastinya sepakat bahwa seorang lelaki dewasa yang ingin
mempersunting wanita pujaannya, wajib bertanggung jawab kepada keluarga wanita
terkhususnya orangtua yang telah melahirkan dan membesarkan sang wanita dengan
kasih sayang. Sikap tanggung jawab ini, oleh masyarakat Kabupaten
Sikka ditunjukkan melalui pemberian belis kepada orangtua wanita yang dianggap
sebagai imbalan balas budi terhadap jasa orangtua wanita.
Namun
mengapa pemberian belis seringkali disalah artikan oleh sejumlah besar
masyarakat? Seringkali, dengan adanya belis, muncul berbagai
persepsi keliru, diantaranya; harkat dan martabat calon mempelai wanita
disepelekan, serta keluarga wanita seringkali dikucil. Keluarga prialah yang
menganggap paling berperan. Paling fatal adalah ketika masyarakat Sikka
berasumsi bahwa belis telah dijadikan sebagai objek komersialisasi terhadap
wanita.
Tidak
hanya menyangkut pandangan serta asumsi masyarakat, belis juga berdampak lanjut
dalam kehidupan berkeluarga. Dan hal fatal yang sering terjadi adalah ketika
kurangnya pemahaman dari suami yang beranggapan bahwa istrinya telah ‘dibeli’
menggunakan belis, maka apapun yang suami lakukan, itu adalah wewenang suami
sebagai kepala rumah tangga. Kata “kepala” dalam kalimat kepala rumah tangga
yang definisinya telah disalah artikan oleh suami telah menyebabkan banyak
penderitaan bagi istri dalam kehidupan perkawinan baik dari segi fisik maupun
psikologis. Seorang kepala rumah tangga seringkali bertindak seturut kemauan
hatinya. Dia memerintah istri sewenang-wenang, bertindak kasar bahkan main
tangan jika tidak menuruti kemauannya, dan seringkali istri
dijadikan budak nafsu oleh suaminya.
Wanita
seringkali dianggap sebagai makhluk Tuhan kelas dua yang lemah dan tak berdaya, seringkali
tidak diberikan hak dalam mengambil sebuah keputusan. Namun
demikian, seluruh pekerjaan rumah tangga dibebankan kepada wanita, wanita bagai
gurita yang memiliki banyak tangan. Menunaikan tugas bersifat rangkap. Mulai
dari mengandung, melahirkan anak, memelihara atau membesarkannya, serta
mengurusi segalah pekerjaan internal rumah tangga.
Bukankah
dalam pernikahan suci, kedua insan yang telah dipersatukan oleh Tuhan harus saling menyayangi dan menghargai? Pernikahan
suci adalah sebuah alat pemersatu dua insan yang berbeda. Berbeda berarti memiliki
kekurangan dan kelebihan, baik dalam sifat, kemampuan, cara memandang suatu
masalah, cara bernalar, cara menempatkan diri hingga cara membangun relasi yang
baik dengan sesama. Karena tiada manusia yang sempurna, maka hendaknya dengan
perbedaan yang ada, suami dan istri berusaha saling melengkapi dengan kasih
sayang. Semakin suci perkawinan, seharusnya semakin pekah terhadap
keretakan-keretakan yang mencuat.
Kaum
adam yang telah menjadi seorang suami hendaknya menghargai perkawinan suci
tersebut dengan jalan menghargai hawanya. Wanita sering ditindas, serta
selalu menjadi mangsa keganasan. Mungkin karena sifat mereka yang lemah lembut,
maka golongan ini sering dijadikan alat untuk melepaskan geram atau hawa nafsu.
Wahai
kaum adam, tidakkah pernah terpikirkan oleh kalian akan hal ini. Bahwa dalam
perkawinan, seorang wanita mengubah namanya, meninggalkan rumah serta keluarga
yang dicintainya untuk mengikutimu. Kemudian mendirikan rumah bersama-sama dan
mengandung anak untukmu. Kehamilan menghancurkan tubuhnya. Ia menjadi gemuk, tubuhnya
tak seindah saat ia belum menjadi istrimu. Dan hampir menyerah dalam
perjuangannya yang penuh penderitaan dan kesakitan yang dilaluinya saat melahirkan.
Selain
itu, wanita selalu bangun tengah malam untuk menyusui anak yang menangis
kehausan, dikala dirimu mengabaikan dan melanjutkan tidurmu. Membuat matanya
sayu dan pipinya cekung serta badannya kurus karena kurang tidur. Dan pada hari
ia menutup mata, semua yang ia lakukan semata-mata menguntungkan kaum adam.
Jadi, apakah hidup seorang wanita harus dikorbankan untuk kepentingan kaum
adam? Masihkah dipandang sebagai makhluk kelas?
Selain
disebabkan oleh pemahaman keliru, peran belis juga dapat berpengaruh. Namun
tidak semata-mata menyalahkan belis sebagai penyebab penindasan wanita dalam
kehidupan rumah tangga, apalagi berusaha meniadakannya dalam sistematika dan
struktural kehidupan. Karena belis adalah adat yang secara turun temurun
diwariskan oleh nenek moyang, dan karena adat istiadat juga tidak dapat
dimusnahkan ataupun diciptakan kembali, melainkan perlunya inovasi untuk
melestarikannya agar tak terkikis oleh egonya modernisasi.
Perlu
dilakukan adalah bagaimana mengubah pola pemikiran masyarakat yang sempit serta
keliru akan fungsi dan makna dari belis itu sendiri, baik dalam kehidupan
berumah tangga maupun dalam membangun relasi antar keluarga pria dan wanita.
Cinta
memang tidak diukur dari barang namun perlu adanya penghargaan terhadap
keluarga wanita melalui belis. Belis merupakan bukti pertanggungjawaban seorang
lelaki yang ingin mempersunting wanita yang dipujanya. Belis hendaknya
dijadikan sebagai alat mempererat dan mempersatukan hubungan kedua rumpun
keluarga. Hal itu dilakukan agar terciptanya suasana harmonis dan saling
mengerti.
Oleh sebab itulah, marilah kita memutuskan mata
rantai polarisasi pemikiran yang keliru mengenai derajat wanita.
Benazir Bhutto, seorang perempuan pertama yang memimpin sebuah Negara Islam di
era modern. Selama berkuasa, ia berusaha memperbaiki nasib perempuan dan
lapisan termiskin di Pakistan. Wanita yang tak kalah gigihnya adalah Mary
Wollstonecraft yang merupakan perintis politik feminis yang secara berani
menolak berbagai batasan dan nilai yang diterapkan bagi kaum perempuan dan cara
hidupnya oleh masyarakat Inggris pada abad kedelapan belas. Tulisan dan
perilakunya menimbulkan amarah di masanya, namun ia diakui sebagai pionir dalam
perjuangan hak-hak perempuan.
Di
Indonesia, Megawati Soekarnoputri adalah sosok perempuan dengan pencapaian
politik tertinggi yakni menjadi presiden kelima RI (periode 23 Juli 2001-20
Oktober 2004) dan menempati posisi kedelapan dalam daftar 100 wanita terkuat di
dunia. Telah banyak wanita-wanita di dunia yang berani memperjuangkan haknya
dan tak pernah mau mendiami ketakberdayaan aturan yang dibelenggu ego dengan
kepatuhan semata.
Di
zaman modern ini, janganlah masih ada lelaki yang beranggapan bahwa tempat
wanita hanyalah di sumur, di dapur dan di kasur. Sudah waktunya wanita harus
bangkit dan membuktikan bahwa tempat wanita adalah dunia yang terbentang luas,
dimana wanita akan selalu berpacu dalam waktu, membiarkan mimpinya mengembara
dan bertransformasi menjadi kenyataan yang telah dicita-citakannya di era
modernisasi. Wanita diciptakan berpola pikir intuitif dan konkret bukan untuk
diambil hak berpendapatnya dan menjadikannya hanya sebagai pelaksana keputusan,
melainkan turut serta menyertakannya dalam pengambilan keputusan. Wanita
diciptakan dari rusuk adam bukan untuk ditempatkan dalam posisi yang lebih
rendah (subordinat) melainkan setara dan sederajat. Tubuh wanita diciptakan
indah serta lemah gemulai bukan untuk dikasari melainkan
dikagumi. Wanita diciptakan lemah lembut bukan untuk dijadikan
sebagai mangsa keganasan dan penindasan, melainkan untuk dicintai. Hargailah
wanita, karena wanita dilahirkan untuk mengubah airmata menjadi
senyuman. Dengan lain kata, wanita mendekatkan surga ke bumi. ***
*Penulis: Siswa Kelas I SMAK Frater Maumere.
Peraih Juara I Lomba Karya Tulis Divisi Perempuan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan
Flores (TRuK-F) Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. (Sumber: Suara Flores).