|
Wawancara Bersama Masyarakat Pengelolah |
SUARA MATAHARI-Pagi itu, saya bersama sejumlah teman wartawan dan aktivis PBH Nusra menuju Desa Poma Kecamatan Tanawawo Kabupaten Sikka. Menggunakan kendaraan roda 2, kami melintas di jalan negara menuju perkampungan Desa Poma. Kurang lebih 50 km, kami menembus desa dengan medan yang begitu buruknya dan membutuhkan tukang pijat memijat badan sekembali ke rumah.
Kehadiran kami di sana atas laporan beberapa anggota kelompok di Kantor Perhimpunan Bantuan Hukum Nusa Tenggara (PBH-Nusra) Kelurahan Waioti, Kota Maumere, 07/4/2014. Mereka minta bantuan hukum untuk melaporkan kasus tersebut di Polres Sikka. Dugaan korupsi kasus itu pun dilaporkan oleh anggota kelompok yang didampingi tim PBH-Nusra, 15/4/2014. Namun sebelumnya kami bersepakat untuk turun ke lokasi.
Terdapat 5 kendaraan bermotor atau kami berjumlah 10 orang. Di sana, kami sedang dinanti sejumlah tokoh masyarakat dan keluarga. Mereka menanti karena ada kesepakatan untuk memberi informasi terkait dugaan korupsi di balik percetakan sawah tanpa air. Kami dipersilahkan duduk, disuguhkan kopi panas dan rokok seadanya. Kami pun bercerita, berdiskusi dalam suasana desa yang bersuhu dingin. Desa yang dikelilingin pohon kemiri di balik bukit dan gunung yang membatasi penghilatan ke daerah lain.
Kami terus berdiskusi sambil mendengar arahan tim PBH Nusra yang sedang melakukan advokasi dugaan korupsi tersebut. Program percetakan
sawah yang diperuntukan masyarakat Desa Poma, Kecamatan Tanawawo, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara
Timur (NTT) berujung proses hukum. Pasalnya, program yang digulirkan oleh
pemerintah pusat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (ABPN)
sebesar Rp. 412. 500.000 ini dinilai bermasalah dalam pengelolaan.
"Ayo kita berangkat menuju lokasi" ajak teman-teman PBH seiring mengajak para tokoh dan masyarakat setempat. Kami pun meninggalkan perkampungan menuju lokasi sawah yang berada di dekat sebuah gunung. Kami menelusuri jalan setapak dengan menggambar tapak kaki. Mendaki menantang kami yang seharian lebih banyak berada di atas kendaraan.
Kami pun tiba dan menyaksikan olahan lahan sawah yang tak nampak seperti sawah basah atau sawah tada hujan melainkan ladang kering yang dibuat petak menyerupi sawah. Tak ada pengairan di sana. Kering. Padahal Pak Jokowi, Presiden kita selalu berharap buka sawah harus ada air. Jangan buka sawa tapi air tidak ada.
Kami kemudian pulang dan mengakhiri perjalanan dengan menemui sejumlah masyarakat pengelolah sawah kering tersebut. Sesuai data yang diterima penggunaan dana Bansos APBN
ini dikucurkan dalam 3 tahap. Tahap pertama sebesar Rp. 112.500.000,- untuk 15
hektar (2011), tahap ke-2 Rp. 200.000.000,- untuk 20 hektar (2012) dan tahap
ke-tiga sebesar Rp. 100.000.000,- untuk 10 hektar (2013. Dana tersebut
dikucurkan oleh pemerintah pusat melalui rekening kelompok dan diketahui oleh
Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Sikka.
Beberapa anggota kelompok
kepada wartawan Suara Flores mengaku tak puas karena kurangnya keterbukaan dari
pengurus kelompok yang diketuai oleh Dominikus
Nggadho. Ketua kelompok, bendahara dan sekretaris dinilai
tidak transparan dalam membayar jatah anggota kelompok termasuk pembayaran biaya kerja. Para anggota kelompok menilai
kurangnya keikutsertaan pihak Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Sikka
dalam memberikan sosialisasi.
Kami terus bertanya-tanya dengan warga setempat termasuk ketua kelompok karena pengelolaan sawah kering ini dibagi per kelompok. Para anggota
kelompok merasa dirugikan karena pemberian uang Harian Orang Kerja (HOK) yang
tidak transparan dan tidak merata. Mulai dari pembabatan lahan, pembuatan petak
dan pematang tidak ada standar atau petunjuk teknis. Menurut mereka,
pembayaran HOK tidak disertai kuitansi sebagai
bukti pembayaran. Maka
sebagian anggota kelompok terpaksa menggunakan uang pribadi. Baik untuk membayar tenaga hentraktor maupun
untuk membuka lahan, pembuatan petak dan
pematang.
Mosa Laki (tuan tanah)
Desa Poma yang juga salah satu anggota kelompok, Andreas We, pada kesempatan
diskusi tersebut mengaku bahwa dirinya hanya diberikan Rp. 350.000 untuk
pembuatan pematang sawah. Sedangkan untuk biaya hentraktor dan lainnya
menggunakan dana yang diambil dari kantong pribadinya sebesar Rp. 1.500.000,-.
“Saya menggunakan uang
pribadi karena tidak mendapat jatah dari pengurus untuk pengerjaan. Beberapa anggota kelompok pun mengalami hal yang sama sejak tahun
2011-2013 ketika program itu masuk di Desa Poma,” kata pria yang mengaku tengah
berumur 70 an tahun.
Terhadap
masalah itu, Tim PBH-Nusra, mengatakan,
pihaknya sedang mendampingi kasus dugaan korupsi itu. Saat ini, sedang dilakukan pendalaman dan mengumpulkan sejumlah data.
Terkait proses hukum, saat ini pihak pun sedang mendampingi anggota kelompok
untuk proses hukum di Polres Sikka.
“Sementara, kita melihat
ada dugaan korupsi dari pengelolaan anggaran itu. Kami tetap berusaha untuk
menyelesaikan masalah ini sesuai visi dan misi PBH-Nusra,” kata Lorens Welin di
Kantor PBH-Nusra. (Admin/SF).